KEKERASAN BERBASIS GENDER
KEKERASAN BERBASIS GENDER
Kekerasan berbasis gender merupakan fenomena sosial yang ada sejak jaman dahulu dan semakin marak akhir-akhir ini. Bahkan kekerasan berbasis gender, semakin meningkat, baik jumlah, bentuk dan modus operadinya yang semakin beragam. Perkosaan, pelecehan seksual, perdagangan perempuan, kekerasan dalam rumah tangga, pornografi, eksploitasi terhadap pekerja migran, dan penelantaran, tampaknya akan terus ditemui dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkup domestik (rumah tangga) maupun publik.
Faktor penyebab terjadinya kekerasan berbasis gender, sangat kompleks dan satu sama lain saling berkaitan. Faktor-faktor tersebut, antara lain perangkat hukum yang belum mampu memberikan perlindungan kepada korban, konsep bahwa perempuan adalah milik keluarga (asset), media yang kurang mendukung pemberitaan tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak, pelayanan publik yang belum optimal, adat istiadat yang kadang melegalkan kekerasan, persoalan kemiskinan, interprestasi yang keliru pada ajaran agama, yang semua itu terbungkus dalam budaya patriarkhi.
Penanganan korban kekerasan berbasis gender dan kekerasan terhadap anak, sesuai dengan ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, bahwa pemerintah daerah diwajibkan untuk membentuk dan mengembangkan sistem dan mekanisme kerjasama untuk penanganan kekerasan. Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (1) huruf b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah menyatakan Wakil Kepala Daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan/ atau temuan hasil pengawasan aparat pengawas, melaksanankan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup. Perlu dibentuk Peraturan Daerah untuk meningkatkan peranan perempuan melalui upaya peningkatan kedudukan dan peran perempuan dalam lingkungan keluarga serta dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Kekerasan terhadap perempuan meningkat secara kuantitas, baik yang terjadi diwilayah publik maupun domestik. Ini dibuktikan dari data kekerasan terhadap perempuan dan anak dari Forum Penanganan Korban Kekerasan Perempuan dan Anak (FPK2PA). Kekerasan berbasis gender dalam rumah tangga masih banyak terjadi di sekitar kita, dan menjadi keharusan bagi kita untuk terus melaksanakan kegiatan pencegahan baik dalam bentuk pendidikan, sosialisasi maupun pendampingan kepada masyarakat.
Meskipun isu kekerasan terhadap perempuan telah terkuak sebagai masalah sosial yang serius, namun masih kurang mendapat respon yang memadai, karena secara mendasar kekerasan terhadap perempuan dipahami hanya sebagai persoalan yang sifatnya domestik dan personal, artinya apabila seorang perempuan menjadi korban sasaran tindak kekerasan, maka langsung dikaitkan dengan kepribadian, si korban dicari-cari hubungannya dengan prilaku korban yang dianggap mencetuskan tindak kekerasan tersebut. Ini serupa dengan mengatakan bahwa, jika perempuan mengalami tindak kekerasan, sedikit atau banyak diangkap karena andil kesalahan sendiri. Jika korban menginginkan penanganan masalah yang menimpanya orang mengaggap hal itu dapat diselesaikan secara pribadi oleh korban, paling jauh anjuran yang sering diterima perempuan korban adalah diselesaikan secara kekeluargaan, yang sesungguhnya berarti menghindari penanganan secara publik, maupun penyelesaian perkara secara hukum.
Berdasarkan fenomena tersebut, diperlukan usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan (politik criminal). Politik Kriminal (criminal policy) ini merupakan bagian dari politik penegakan hukum dalam arti luas (law enforcement policy). Semuanya merupakan bagian dari politik sosial (social policy), yakni usaha dari masyarakat atau Negara untuk meningkatkan kesejahteraan warganya.
Usaha-usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan ini sudah tentu tidak hanya menggunakan sarana penal (hukum pidana), tetapi juga menggunakan sarana-sarana non penal seperti penyantunan dan pendidikan moral, agama, kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secaran kontinyu oleh aparat keamanan dan sebagainya.
Dengan demikian dilihat dari sudut politik kriminal, keseluruhan kegiatan preventif dengan menggunakan sarana non penal sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis, dan kegagalan dalam menggarap posisi strategi ini dapat berakibat fatal bagi usaha penanggulangan kejahatan.
Kebijakan kriminal harus dapat mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat kedalam suatu sistem yang teratur dan terpadu. Dengan kebijakan integral ini diharapkan upaya tersebut dapat mencapai hasil yang optimal dalam penanganan tindak pidana kekerasan terhadap perempuan yang berkeadilan gender.
Komentar
Posting Komentar